Jumat, 23 September 2011

Ilmuwan Gunakan Pencitraan Otak untuk Menyingkap Gambar Film dalam Pikiran Kita

Kami membangun sebuah model untuk tiap-tiap voxel yang menggambarkan bagaimana bentuk dan informasi gerakan dalam film ini dipetakan ke dalam aktivitas otak.

Bayangkan Anda bisa mengendap ke dalam pikiran pasien yang sedang koma, atau menonton mimpi sendiri di YouTube. Dengan perpaduan potongan-tepi pencitraan otak dan simulasi komputer, para ilmuwan di University of California, Berkeley, membawa skenario futuristik ke dalam jangkauan.

Dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) dan model komputasi, para peneliti UC Berkeley telah berhasil merekonstruksi dan mengkodekan pengalaman dinamis visual seseorang – dalam hal ini, saat seseorang menonton trailer film Hollywood.

Teknologi ini hanya bisa merekonstruksi film klip yang sedang dilihat seseorang. Namun, terobosan ini membuka jalan untuk mereproduksi film di dalam kepala kita yang tidak bisa dilihat orang lain, seperti mimpi dan memori, demikian menurut para peneliti.

“Ini adalah lompatan besar menuju rekonstruksi citra internal,” kata Profesor Jack Gallant, seorang ilmuwan saraf UC Berkeley dan rekan penulis studi yang akan dipublikasikan online dalam jurnal Current Biology edisi 22 September. “Kami membuka jendela menuju film di dalam pikiran kita.”

Pada akhirnya, aplikasi teknologi ini bisa mencakup pemahaman yang lebih baik pada apa yang terjadi di dalam pikiran orang yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal, seperti korban stroke, pasien koma dan penderita penyakit neurodegeneratif.

Ini juga bisa meletakkan dasar bagi penciptaan antarmuka mesin-otak sehingga penderita cerebral palsy atau kelumpuhan, misalnya, dapat memandu komputer dengan pikiran mereka.

Bagaimanapun juga, para peneliti menunjukkan bahwa teknologi ini masih perlu waktu beberapa dekade lagi untuk memungkinkan pengguna membaca pikiran dan niat orang lain, seperti yang digambarkan dalam film fiksi ilmiah klasik “Brainstorm,” di mana para ilmuwan mencatat sensasi seseorang sehingga orang lain bisa mengalaminya.

Sebelumnya, peneliti Gallant bersama para kolega merekam aktivitas otak pada korteks visual selagi subjek memandang foto hitam-putih. Mereka kemudian membangun sebuah model komputasi yang memungkinkan mereka memprediksi dengan akurasi yang luar biasa pada gambar yang dilihat subjek.

Dalam percobaan terbaru, para peneliti mengatakan bahwa mereka telah memecahkan masalah yang jauh lebih sulit dengan mengkodekan sinyal otak yang dihasilkan oleh gambar bergerak.

“Pengalaman visual yang kita alami adalah seperti menonton film,” kata Shinji Nishimoto, penulis utama studi ini dan seorang peneliti pasca-doktoral di laboratorium Gallant. “Agar teknologi ini memiliki penerapan yang luas, kita harus memahami bagaimana otak memproses pengalaman-pengalaman visual yang dinamis ini.”

Nishimoto dan dua anggota tim riset lain menjabat sebagai subjek untuk percobaan, karena prosedur mengharuskan relawan untuk tetap diam di dalam pemindai MRI selama berjam-jam pada suatu waktu.

Mereka menonton dua set trailer film Hollywood yang terpisah, sementara fMRI digunakan untuk mengukur aliran darah melalui korteks visual, bagian otak yang memproses informasi visual. Pada komputer, otak dibagi menjadi kubus-kubus kecil tiga dimensi yang dikenal sebagai piksel volumetrik, atau “voxel.”

“Kami membangun sebuah model untuk tiap-tiap voxel yang menggambarkan bagaimana bentuk dan informasi gerakan dalam film ini dipetakan ke dalam aktivitas otak,” kata Nishimoto.

Aktivitas otak yang melakukan perekaman selagi subjek menonton set klip pertama dimasukkan ke dalam sebuah program komputer yang dipelajari, detik demi detik, untuk menghubungkan pola-pola visual dalam film dengan aktivitas otak yang terkait.

Aktivitas otak yang ditimbulkan oleh set klip kedua digunakan untuk menguji algoritma rekonstruksi film. Hal ini dilakukan dengan memasukkan 18 juta detik video YouTube acak ke dalam program komputer sehingga dapat memprediksi aktivitas otak di mana tiap-tiap klip film kemungkinan besar akan muncul pada tiap subjek.

Akhirnya, 100 klip yang paling mirip dengan klip yang mungkin dilihat subjek digabung untuk menghasilkan sebuah rekonstruksi terus menerus yang masih kabur dari film aslinya.

Merekonstruksi film menggunakan pemindai otak cukup menantang karena sinyal-sinyal aliran darah yang diukur dengan fMRI mengalami perubahan yang jauh lebih lambat daripada sinyal saraf yang menyandikan informasi dinamis dalam film, kata para peneliti. Untuk alasan ini, upaya sebelumnya untuk memecahkan kode aktivitas otak masih berfokus pada gambar statis.

“Kami membahas masalah ini dengan mengembangkan model dua-tahap yang secara terpisah menjelaskan populasi saraf dan sinyal-sinyal aliran darah,” kata Nishimoto.

Pada akhirnya, Nishimoto mengatakan, para ilmuwan perlu memahami bagaimana otak memproses peristiwa visual dinamis yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

“Kita perlu tahu bagaimana otak bekerja dalam kondisi yang alamiah,” katanya. “Untuk itu, kita perlu terlebih dahulu memahami bagaimana otak bekerja saat kita menonton film.”


Sumber : faktailmiah.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites